Senin, 27 Oktober 2008

DZIKIR THARIQAT QADIRIYYAH NAQSYABANDIYYAH

Thariqat Qadiriyyah Naqsyabandiyyah menggunakan methoda dzikir untuk mencapai ma`rifatullah. Dalam hal ini thariqat Qadiriyyah Naqsyabandiyyah memadukan dua methoda dzikir, yaitu dzikir yang diucapkan dengan keras (dilisankan), mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallah. Sedangkan dzikir sirri adalah dzikir didalam hati menggunakan dzikir Ismu Dzat.
Dzikir jahar dilaksanakan setiap selesai shalat fardlu, sekurang-kurangnya 165 kali. Bahkan sesungguhnya kapan saja kita harus berdzikir menyebut Asma Allah sebanyak-banyaknya (QS Al-Ahzab : 41).
Ketika melaksanakan dzikir, usahakan seluruh kiblat hati dan pikiran kita tertuju kepada Allah, tidak terganggu dengan lintasan-lintasan hati dan pikiran yang dapat mengganggu ke-khusyu-an kita saat berdzikir. Usahakan seluruh tubuh kita, jiwa dan raga, turut merasakan getaran dzikir Laa ilaaha illallah. Jadi seluruh tubuh terisi dengan kalimat dzikir.
Dzikir sirri diucapkan didalam hati, hanya saja dzikir ini dilaksanakan tanpa mengenal batas waktu, tempat dan keadaan. Selama jantung masih berdetak, selama nafas masih berjalan, selama darah masih mengalir, baik dalam keadaan duduk, berdiri, bahkan dalam keadaan tidur pun kita harus terus berdzikir (dzikir sirri adalah pekerjaan ruh; ruh itu tidak pernah tidur, jadi harus terus berdzikir). Firman Allah tentang hal ini diantaranya :
“Maka berdzikirlah kepada Allah pada waktu berdiri, duduk, dan pada waktu berbaring” (QS 3 : 103)
Dzikir akan berbekas apabila dilaksanakan dengan istiqamah, penuh adab, serta menghadirkan rasa hati yang penuh. Hasil tertinggi dalam dzikir adalah ke-fana-an terhadap dirinya, serta segala sesuatu selain Allah, sehingga yang terpandang, yang tercium, yang terdengar, yang dilisankan oleh lidah dan mulut hatinya, hanya Allah semata dengan penuh rasa kerinduan, rasa cinta kepada-Nya, dia telah larut didalam Allah.
Adapun cara melaksanakan tawajjuh dengan dzikir sirri, yaitu dilakukan sambil menahan nafas (mengatur jalannya nafas), mulut dirapatkan, mata dipejamkan, lidah dilipat ke langit-langit mulut, serta tidak boleh ada bagian tubuh yang bergerak, harus seperti seekor kucing mengintai tikus, tidak bergoyang meskipun hanya selembar bulu. Karena dzikir sirri pada saat tafakkur (tawajjuh) adalah pekerjaan ruh, bukan pekerjaan jasmani. Kalimat dzikir itu harus dipusatkan didalam hati (jantung), kemudian dirasakan mengalir ke seluruh tubuh, dari ujung rambut sampai ke ujung-ujung jari ketika mengeluarkan nafas. Selanjutnya tarik lagi nafas itu perlahan-lahan, kemudian nafas ditahan, pada saat itu mengucapkan kalimat dzikir Ismu Dzat, apabila sudah tidak kuat menahan nafas, nafas pun dikeluarkan lagi dengan halus, perlahan-lahan dialirkan ke seluruh bagian tubuh, begitu selanjutnya.
Saat bertawajjuh (tafakkur), hayati betapa besar kekuasaan Allah, betapa besar pula kasih sayang-Nya. Sudah tak terhitung berapa banyak karunia yang telah dilimpahkan kepada kita, maka dengan begitu akan tumbuh jiwa tauhid dan rasa cinta yang mendalam kepada-Nya.
Seperti telah dikatakan diatas, bahwa thariqat Qadiriyyah Naqsyabandiyyah, adalah perpaduan dari dua methoda dzikir, yaitu dzikir jahar dan dzikir sirri. Ketika melaksanakan dzikir pada saat mengucapkan Ilallah harus dipukulkan dengan tekanan yang sangat keras ke dalam hati sanubari. Sehingga dari kedua kalimat dzikir tersebut terjadi benturan di dalam hati. Terjadinya benturan itu seperti palu godam menempa besi, yang akan menimbulkan percikan-percikan api. Begitu pula benturan kalimat dzikir akan memercikkan cahaya-cahaya ke-Ilahi-an yang sedikit demi sedikit akan membersihkan karat-karat hati. Apabila hal itu dilaksanakan terus menerus dengan tekun disertai keikhlasan, maka hati akan diterangi oleh Nurrullah (cahaya Illahiyyah). Maka hati pun menjadi bening kemilau. Dengan hati yang bening penuh cahaya Illahiyyah, akan tersingkap rahasia haqiqat Allah dan gerbang ma`rifat pun telah terbuka lebar atas ridla Allah.
Untuk selanjutnya dengan tuntunan hati yang bening, akan mengejawantahkan Sifat-sifat Allah, yang bijaksana, pengasih penyayang, sabar, jujur, adil dan sebagainya, seirama dengan akhlaq yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw. Dengan begitu terbentuklah manusia sempurna (insan kamil), yang menjalankan tugasnya sebagai wakil Allah di dunia, yang membuahkan rahmatan lil alamin.
Semoga pengikut ajaran thariqat Qadiriyyah Naqsyabandiyyah menjadi umat Nabi Muhammad Saw yang terpilih oleh-Nya.

Bandung, 4 Juli 2007

Oleh :

Masna Mulyana

AL-QUR’AN : PARADIGMA KEHIDUPAN DAN IPTEK

Al-Qur’an adalah kitab suci yang wajib di-imani oleh seluruh kaum muslimin, bahwa Al-Qur’an adalah Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang dibacakan oleh Malaikat Jibril, yang menjadi mujijat walaupun dengan satu ayat saja, yang menjadi ibadat hanya dengan membacanya
Al-Qur’an sesungguhnya adalah buku petunjuk kehidupan untuk seluruh umat manusia, yang setiap saat harus kita baca untuk mendapatkan arti serta makna tentang kehidupan, karena ia merupakan “hudan linnas”, kamus petunjuk kehidupan manusia (QS. 2 : 3, 185)
Kamus kehidupan yang memuat kata-kata kunci yang sangat bermanfaat dalam berkomunikasi dengan Allah, dengan alam, dengan manusia lain, bahkan dengan egonya sendiri sebagai ego yang terbatas, untuk meraih kualitas spiritual dalam bentuk taqwa. Dan taqwa itu sesungguhnya dapat dibaca dalam lembaran kehidupan kita sebagai muslim yang mukmin.
Sikap masyarakat Islam terhadap Al-Qur’an dewasa ini masih belum sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an. Al-Qur’an sebagai kacamata untuk membaca mikro dan makro kehidupan ini, ternyata hampir tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Kitab yang berusia hampir 15 abad ini, hanya dianggap sebagai “dokumen lama” yang sudah kehilangan ruh-nya. Al-Qur’an hanya menjadi penghuni pojok serambi mesjid. Menjadi benda sakral penangkal bala. Potongan-potongan ayatnya menghiasi dinding rumah dalambentuk kaligrafi. Padahal sesungguhnya Al-Qur’an adalah “hudan linnas”, yakni sebagai rujukan untuk kehidupan umat manusia.
Kebanyakan masyarakat Islam sekarang ini dalam bertingkah laku, berilmu pengetahuan, politik, ekonomi, social, pendidikan dan berbagai macam dimensi kehidupan lainnya, tidak lagi merujuk kepada petunjuk Al-Qur’an, Melainkan merujuk kepada kitab-kitab pseudo yang terdapat dlam buku-buku Ilmu Pengetahuan karya orang-orang barat, yang memuat pandangan hidup kapitalis, social, komunis, sekularis, materialis, yang kesimpulannya mengandung benih-benih “atheisme”. Buku-buku inilah yang menjadi petunjuk Ilmu Pengetahuan dan Teknologi modern dengan segala sektor kehidupan dewasa ini. Walaupun masih ada sebagian umat Islam yang sadar akan petunjuk Allah SWT., dan memakai Al-Qur’an sebagai referensi kehidupan dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK), karena mereka meyakini bahwa Al-Qur’an adalah sumber kebenaran yang mutlak, yang tidak ada keraguan daripadanya, menjadi pedoman bagi seluruh umat manusia di dunia. Mereka meyakini bahwa Al-Qur’an mampu menyelami masa silam, dan muncul di permukaan kehidupan masa kini, juga mampu menjangkau masa depan, yakni era globalisasi, era komunikasi dan informasi, tetapi jumlah mereka sangatlah sedikit.
Al-Qur’an adalah kitab tentang masa lalu, masa kini dan masa depan, yang mampu memberi petunjuk kepada kita untuk mengembangkan diri dalam rangka mengenal hakikat ciptaan Alah SWT. Al-Qur’an mengisyaratkan formula-formula IPTEK yang cemerlang di alam semesta yang belum tertangkap seluruhnya oleh ilmu pengetahuan manusia. Pantaslah jika Al-Qur’an mengklaim walaupun seluruh air lautan dijadikan tinta, tidak akan cukup untuk menguraikan ilmu Allah.
Berbagai macam persepsi terhadap Al-Qur’an yang beredar di tengah masyarakat Islam dewasa ini, dapat kita paparkan disini, yakni Al-Qur’an sebagai kitab sakral dan ritual, Al-Qur’an sebagai kitab legimitasi dan symbol, Al-Qur’an sebagai kitab umat manusia dan Al-Qur’an sebagai kitab ilmu pengetahuan.

A. Al-Qur’an sebagai Kitab Sakral dan Ritual
Al-Qur’an dipandang sebagai kitab sakral dan ritual merupakan gejala umum dalam masyarakat Islam di Indonesia yang sudah mengkristal dalam adat istiadat dan budaya. Al-Qur’an mempunyai status yang tersendiri dalam masyarakat. Al-Qur’an sebagai naskah, dianggap memiliki nilai yang “sakti” atau “bertuah”, yang mengandung daya penangkal bala. Al-Qur’an dianggap memiliki dinamika untuk menjauhkan seseorang dari mara bahaya, dianggap sebagai “azimat” baik dalam bentuk naskahnya yang utuh, potongan ayat-ayatnya, maupun huruf-huruf Al-Qur’an itu sendiri. Contohnya, pada kelompok masyarakat tertentu, meminum air rendaman kertas yang bertuliskan huruf “alif” (dalam huruf Arab), konon katanya karena “Alif” merupakan huruf pertama dari kata “Allah”, sehingga dianggap mempunyai nilai magis yang tinggi. Persepsi masyarakat seperti itu menimbulkan sikap penghargaan terhadap wujud fisik Al-Qur’an itu sendiri. Sebagai naskah Al-Qur’an tidak boleh diletakan di sembarang tempat, tidak boleh ditindih olrh kitab-kitab lain di atasnya, tetapi harus diletakan di tempat yang lebih tinggi, dicium, dijunjung di atas kepala. Itu semua menunjukkan gejala pemujuaan terhadap fisik Al-Qur’an yang berlebihan, sehingga dikhawatirkan akan dapat menghilangkan makna hakiki Al-Qur’an sebagai “hudan linnas”. Bukan petunjuk yang berada di dalamnya yang difungsikan, melainkan hanya menghormati “teks”nya saja.
Al-Qur’an sekarang ini berfungsi hampir hanya sebagai kitab ritual, yang dibaca dalam insiden-insiden tertentu. Al-Qur’an dibaca ketika mengadakan acara pernikahan, kehamilan, kelahiran serta upacara-upacara lainnya. Semua itu hanya bersifat protokoler untuk membuka acara sekedar memberi dasar formalitas Islami.. Al-Qur’an dibaca baru dalam tahap membuka dan menutup acara diskusi, seminar, symposium, musyawarah serta acara formalitas lainnya sebatas mengalunkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan suara dan irama yang indah.
Al-Qur’an sebagai kitab ritual kadang-kadang hanya untuk memberi kesan Islami, tetapi tidak sampai menyentuh ke dalam jiwanya, hal itu karena Al-Qur’an belum dianggap sebagai petunjuk kehidupan dan direfleksikan dalam perilaku social. Sebagian masyarakat Islam baru mampu menangkap makna Al-Qur’an hanya sampai kepada batas sakral dan ritual sesuai dengan kualitas ke-islamannya.

B. Kitab Legimitasi dan Simbol
Sikap masyarakat yang menganggap Al-Qur’an sebagai kitab legimitasi dan symbol, guna memberikan justifikasi kepada keinginan pribadi dan fikiran subyektif, sesungguhnya hal seperti itu tidak dibenarkan. Al-Qur’an banyak disalah gunakan untuk penafsiran sepihak terhadap masalah-masalah kehidupan, dalam rangka melicinkan jalan untuk mencapai tujuan mereka. Gejala ini muncul tidak saja pada institusi tertinggi, tetapi banyak juga dipakai untuk membenarkan jalan fikiran penafsir, padahal hal itu belum tentu benar. Al-Qur’an sebagai alat legimitasi, banyak dimanfaatkan masyarakat untuk mentafsirkannya secara spesifik disesuaikan dengan disiplin ilmunya. Akibatnya keterangan-keterangan yang berada di luar garis didiplin ilmu mereka, banyak yang tidak tersentuh.
Al-Qur’an sebagai symbol, terutama yang erat kaitannya dengan seni, ternyata banyak yang disalah gunakan. Akhir-akhir ini ayat Al-Qur’an banyak dikomersilkan dalam bentuk kalighrafi, mulai dari kartu lebaran, kaos oblong, hiasan dinding, bahkan pernah ada sepatu buatan China yang telapaknya bertuliskan kata “Allah” (dalam huruf Arab) sempat menghebohkan Arab Saudi. Kasus semacam ini punya tendensi tertentu yang tidak boleh dibiarkan, walau pun hanya sebuah nama. Apa arti sebuah nama ? Sesungguhnya di balik “nama” itu terletak eksistensi yang perlu dibela, agar tidak menimbulkan citra yang buruk. Ini suatu bukti bahwa umat Islam ternyata baru mampu menangkap kesan permukaan Al-Qur’an sebagai suatu symbol.

C. Kitab Umat Manusia
Allah SWT penguasa alam semesta yang tunggal, sudah tentu “petunjuk-Nya” berlaku untuk seluruh umat manusia di seluruh alam ini, termasuk Jin, sebagai “hudan linnas”. System ekologi alam menjadi milik seluruh umat manusia untuk dimanfaatkan sebagai kurikulum seluruh sector kehidupan. Sementara persepsi masyarakat Islam dewasa ini, menganggap seakan-akan system ekologi alam ini hanya milik umat Islam saja. Padahal sesungguhnya hal itu adalah milik seluruh umat manusia. Siapa saja boleh mengkaji Al-Qur’an, terutama hal-hal yang berhubungan dengan IPTEK. Dan sangat tidak mustahil bahwa Al-Qur’an sekarang ini sedang dikaji oleh umat non-muslim untuk kepentingan IPTEK ruang angkasa, sebab ternyata formula Al-Qur’an merupakan paradigma dan premis IPTEK modern, sedangkan umat Islam sendiri, masih tertatih-tatih mentafsirkan Al-Qur’an dari segi linguistik saja, untuk membedakan mana fi’il, mana fa’il, mana ism atau mana harf. Yang disentuh bukan masalah tetapi bahasanya, sehingga untuk mentafsirkan Al-Qur’an diharuskan belajar ilmu-ilmu nahwu-shorof bertahun-tahun, belum lagi ilmu-ilmu bantu yang lain, seperti ma’ani, bayan, balaghoh dan sebagainya, guna mengkaji Al-Qur’an secara Kauniyah. Sedangkan dewasa ini perkembangan IPTEK makin melesat ke atas dengan pesatnya untuk membuktikan hasil ciptaan “penguasa langit dan bumi”, dan spiral kehidupan yang begitu unik, penuh dengan fenomena-feomena Ilahiyyah. Mengapa kita, umat Islam, tidak pernah berusaha untuk memikirkan fenomena alam ini ? Mengapa tidak ada usaha yang keras untuk menjangkau ke arah sana ? Dan anehnya apabila umat non-muslim berhasil menggali isi Al-Qur’an, maka umat Islam cepat-cepat memberikan justifikasi, bahwa hal itu sudah lama tertulis dalam Al-Qur’an.
Karena Al-Qur’an dan alam semesta berasal dari “Yang Maha Satu”, dengan demikian tidak mungkin ada keraguan sedikit pun terhadap Al-Qur’an yang menjelaskan fenomena-fenomena kauniyyah. Ternyata masyarakat non-muslim lebih mengenal isi Al-Qur’an daripada umat Islam sendiri, yang anehnya apabila Al-Qur’an “disenggol” atau “tersenggol” sedikit saja, umat Islam lalu tersinggung dan kemudian membela mati-matian. Padahal pembelaan itu hanya bersifat fisik, karena barangkali ada orang yang tidak sopan dan usil, memegang Al-Qur’an yang berbentuk disket atau kertas dan tinta, tanpa bersuci terlebih dahulu. Pembelaan umat Islam seperti ini baru sebatas persepsi mereka tentang Al-Qur’an, yakni sebatas bentuk naskah, bukan isinya, sehingga ketika Al-Qur’an diputar balikkan menjadi isme-isme kapitalisme, komunisme, dan isme-isme lainnya yang berupa konsep-konsep terselubung dalam system pendidikan, social, ekonomi, politik, hokum serta dimensi lain dalam kehidupan ini, ternyyata umat Islam tidak mampu melihat kejahatan itu, mereka bahkan membelanya. Hal ini disebabkan karena umat Islam tidak pernah menyentuh isi Al-Qur’an, dalam artian menghayatinya, sehingga tidak tahu bagaimana cara untukl menyelamatkan Al-Qur’an dari serbuan dahsyat yang membantai habis-habisan aqidah, syari’ah dan akhlaq.
Dewasa ini Al-Qur’an mulai ditafsirkan oleh masyarakat non-muslim, terutama hal-hal yang menyangkut IPTEK. Al-Qur’an sekarang ini menjadi bahan kajian di universitas-universitas di dunia, baik secara tersembunyi atau pun secara terang-terangan. Al-Qur’an akan menjadi milik masyarakat dunia, karena ternyata Al-Qur’an mampu memberikan jawaban terhadap revolusi IPTEK. Karena itu bagi umat Islam, Al-Qur’an hendaknya bukan sekedar diyakini kebenarannya, tetapi juga diuji-coba untuk mengembangkan isyarat-isyarat Al-Qur’an mengenai alam semesta ini.

D. Kitab Ilmu Pengetahuan
Melalui ayat yang diterima pada saat wahyu pertama diturunkan Allah kepada Nabi saw, dapat diketahui pandangan Islam tentang Ilmu Pengetahuan (QS 96 : 1–5)
“Bacalah - dengan menyebut Nama Tuhanmu yang menciptakan – menciptakan manusia dari “alaq” – Bacalah demi Tuhanmu Yang Maha Pemurah – yang mengajar manusia dengan kalam – mengajar manusia tentang apa-apa yang belum diketahuinya”
Iqro terambil dari akar kata yang berarti “menghimpun”. Dari menghimpun ini lahir berbagai macam arti, seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu dan membaca. Baik teks yang tertulis maupun yang tidak tertulis.
Ayat al-Alaq yang merupakan wahyu pertama itu tidak menjelaskan apa yang harus dibaca. Ini berarti merupakan suatu anjuran kepada manusia untuk membaca, menelaah, meneliti, mendalami, dan mempelajari apa saja, dengan pengertian selama bacaan tersebut “bismirabbik”, yang berarti bermanfaat untuk segenap manusia dan alam semesta ini. Dari wahyu itu juga ditemukan petunjuk tentang pemanfaatan ilmu. Dengan “iqro bismirabbik” telah digariskan satu ketentuan oleh Allah, bahwa titik tolak atau motivasi pencarian ilmu, demikian juga tujuan akhir dari pencarian ilmu tersebut harus karena Allah. Jadi dalam Islam telah ada garis ketentuan, bahwa ilmu apapun materi pembahasannya harus bismirabbik atau dengan kata lain harus diberi nilai rabbany, harus mempunyai nilai-nilai spiritual. Obyek ilmu menurut para ilmuwan Muslim mencakup alam materi dan non-materi. Pemahaman dan pengembangan matyeri membuahkan teknologi. Teknologi adalah ilmu tentang cara menerapkan ilmu pengetahuan untuk memanfaatkan alam bagi kesejahteraan manusia.
Menurut Al-Qur’an, manusia mempunyai potensi untuk meraih ilmu dan mengambangkannya atas izin Allah, karena itu bertebaran ayat-ayat yang memerintah manusia untuk menempuh berbagai cara guna mencapai tujuan tersebut. Menurut para ulama terdapat sekitar 750 ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang alam materi dan fenomenanya dan yang memerintahkan manusia untuk mengetahui, mempelajari dan memanfaatkannya. Secara tegas dan berulang-ulang Al-Qur’an menyatakan bahwa alam semesta ini diciptakan dan ditundukkan oleh Allah untuk manusia
“Dia menundukkan untuk kamu apa saja yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, semuanya (sebagai rahmat) daripada-Nya”. (QS 45 : 13)
Penundukkan tersebut secara potensial terlaksana melalui hukum-hukum atau yang ditetapkan Allah, dan potensi yang dianugerahkan kepada manusia. Dengan adanya potensi itu, tersedianya lahan yang diciptakan Allah, serta ketidak mampuan alam semesta untuk membangkang kepada perintah dan hukum-hukum Allah, menjadikan para ilmuwan memperol;eh kepastian hukum-hukum Allah, yang mana semua ini mengantarkan manusia untuk dapat memanfaatkan alam yang telah ditundukkan Allah. Keberhasilan inilah yang merupakan buah teknologi, yang pada gilirannya menghasilkan kemudahan dan manfaat bagi umat manusia.
Al-Qur’an sekarang makin laris dikaji oleh para ilmuwan, terutama bagi “muslim potensial”, yakni masyarakat non-muslim. Terbukti Al-Qur’an banyak memberikan informasi tentang IPTEK, yang makin hari makin nyata lewat kajian dan percobaan yang mengagumkan. Contohnya hasil percobaan pemotretan atas pegunungan-pegunungan di Nejed (Arab Saudi) oleh Telstar (satelit Amerika Serikat), ternyata diketahui bahwa gunung-gunung itu bergerak ke arah utara, ke arah Iran, sepanjang 3 inci setiap tahun. Informasi seperti ini terbukti sejalan dengan firman Allah dalam Al-Qur’an , bahwa gunung-gunung yang kelihatan oleh pandangan kita seolah-olah diam, padahal sesungguhnya gunung-gunung itu bergerak seperti awan (QS 27 An-Naml : 88). Jengkauan pengamatan empiri dan rasio kita terlalu lemah, dan akal kita tidak mampu mencerna bahwa gunung-gunung sedahsyat itu serta tertancap dengan kuat ke bumi, dikatakan dalam Al-Qur’an berjalan seperti awan. Tetapi ternyata hal itu sekarang telah dibuktikan oleh IPTEK sebagai perpanjangan pengamatan manusia.
Energi yang memutar roda kehidupan, adalah energi Allah yang diberikan kepada manusia dengan gratis. Silahkan sedot bahan bakar minyak, silahkan serap sinar matahari sepuas-puasnya, silahkan manfaatkan semua energi yang ada di alam ini. “Maka nikmat Tuhan kamu yang mana yang kamu dustakan ?” Ini adalah bunyi ayat Al-Qur’an di dalam surat Ar-Rahman, yang diulang-ulang sebanyak 31 kali, seolah-olah Allah menggugat kita yang tidak tahu diri, yang telah menggunakan nikmat Allah yang begitu melimpah, tetapi tidak pernah bersyukur kepada-Nya. Orang semacam ini beranggapan, bahwa dia lah satu-satunya penguasa alam, bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini harus dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk kepuasan nafsunya. Alam harus dikuras, diserap, dibongkar untuk memenuhi hasrat nafsunya, dengan alasan demi pembangunan. Sementara itu Al-Qur’an memastikan bahwa kerusakan lingkungan udara, darat dan laut, akibat kelancangan tangan-tangan manusia yang tidak bertanggung jawab, maka alam memukul balik manusia dalam bentuk polusi udara dan bencana alam, sebagai akibat dari perbuatan manusia sendiri (QS 30 Ar-Rum : 41)
Banyak peristiwa-peristiwa masa depan yang akan terjadi kelak, yang belum terjangkau oleh pengetahuan manusia. Peristiwa besar yang selalu diungkapkan Al-Qur’an adalah “Hari Semesta”, yakni hari kehancuran alam semesta yang dahsyat dan kita tidak atau belum mmpu membayangkannya. Hari tabrakan antara planet yang akan meledak dengan dahsyatnya. Gunung-gunung akan beterbangan seperti bulu burung yang tertiup angin. Inilah yang disebut “Hari Qiyamat”, akhir kehidupan alam semesta. Inilah hari masa depan yang pasti terjadi yang dijanjikan dalam Al-Qur’an, bacaan mulia yang harus dibaca, dipelajari dan diamalkan sebaik-baiknya dalam kehidupan kita. Saat Al-Qur’an mulai dikomunikasikan oleh berbagai institusi di dunia, maka Al-Qur’an akan menjadi paradigma dan dasar untuk memberi makna spiritual kepada IPTEK. Dunia akan damai apabila Al-Qur’an dipakai sebagai rujukan IPTEK. Tidak ada alternatif lain dalam kehidupan sekarang ini kecuali kembali kepada petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah adalah dua pusaka abadi untuk kehidupan manusia.
Abad ini masyarakat non muslim yang merupakan “muslim potensial” sangat berambisi mengkaji Al-Qur’an dalam kaitannya dengan IPTEK. Tampaknya sudah waktunya bagi kita umat Islam, untuk membentuk suatu lembaga yang terdiri dari ulama, cendekiawan muslim, dan ilmuwan-ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk mentafsirkan Al-Qur’an, agar dapat menjadi pegangan dan pedoman hidup masyarakat Islam seutuhnya yang sesuai dengan petunjuk yang tercantum dalam Al-Qur’an itu sendiri.
Selain persepsi di atas, terdapat juga umat yang sadar akan eksistensi Al-Qur’an di tengah kehidupan. Mereka punya prinsip asumsi yang kuat, bahwa kebenaran satu-satunya hanya datang dari Allah lewat kitab “petunjuk”, yakni Al-Furqon yang mampu memisahkan Islam dari Sekularis, Islam dengan Materialis, Islam dengan Komunis. Sudah waktunya Al-Qur’an untuk dimasyarakatkan melalui berbagai upaya. Metode pendidikan perlu dikaji kembali, disajikan dalam bentuk yang sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an dengan memanfaatkan teknologi yang bersifat Islami. Jelas bagi kita semua, bahwa Al-Qur’an bukan saja merupakan kamus kehidupan dalam artian aqidah, syari’ah dan akhlaq saja, tetapi juga merupakan formula IPTEK dan kerja-kerja professional, maka yang perlu diluruskan, bukan ayat Al-Qur’an dengan cara mentafsirkan dalam bentuk argumen yang macam-macam, tetapi jalan fikiran kita lah sesungguhnya yang tidak beres itu perlu diperbaiki untuk mengetahui alur Al-Qur’an yang lurus.
Dari catatan yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa teknologi beserta dengan hasil-hasilnya, disamping harus mengingatkan manusia kepada kekuasaan dan kebesaran Allah, juga harus mengingatkan juga bahwa manusia adalah khalifah, yang kepadanya harus tunduk segala sesuatu yang berada di alam semesta ini.
Akhirnya berpulang sebuah harapan kita kepada para ulama, cendekiawan muslim dan juga kepada kita semua, yakni sebuah masalah yang menggelitik kita, Apa sesungguhnya upaya kita sekarang ini untuk memasyarakatkan Al-Qur’an di tengah pembangunan dan perubahan social yang makin kompleks, agar masyarakat dapat mengubah persepsinya tentang Al-Qur’an, yang selama ini melekat pada budaya dan adat istiadat yang cenderung sudah mengkristal, sehingga Al-Qur’an benar-benar dipahami sebagai paradigma kehidupan, ilmu pengetahuan serta teknologi bagi seluruh umat Islam Indonesia khususnya dan dunia pada umumnya.
Wallahu ‘alam


Bandung, Maret 2008

Minggu, 26 Oktober 2008

FANA FI LLAH

FANA FI LLAH
(Sedikit tentang kata : Ana al-Haqq)

Semua tujuan akhir dari latihan dan perjalanan kaum Sufi adalah mencari dan menyatukan diri dengan Tuhannya. Mencintai Tuhan menurut kaum Sufi adalah bersatunya khalik dengan makhluk. Dengan kata lain, leburnya sifat makhluk dalam keabadian dzat dan sifat Allah. Keadaan seperti itu disebut Fana fillah.
Hampir semua konsep Sufi selalu menekankan bahwa hijab yang paling sering menghalangi manusia menuju Allah, adalah ke-akuan dirinya, hawa nafsu, hasrat atau keinginan dan melalaikan Allah, hal-hal itu disebut sebagai pembantu-pembantu iblis, yang semuanya harus dibersihkan dari dalam jiwa. Dari semua itu hawa nafsu-lah yang merupakan penghalang terbesar bagi pencerahan jiwa seseorang.
Ibn ‘Arabi mengatakan :
“Man arafa nafsahu faqod arafa robbahu”
(Barang siapa yang mengenal dirinya, maka ia akan mengenal akan Tuhannya)
Akan tetapi untuk mengenal dirinya (nafs), maka manusia harus dapat menundukkan nafsunya yang memiliki naluri-naluri rendah. Dalam Al-Qur’an nafsu dikenal dalam tiga rujukan, yaitu : Nafsu ammarah bissu, nafsu yang mendorong ke arah kejahatan (QS 12 : 53), Nafsu lawwamah, nafsu yang menyesali (dirinya) (QS 75 : 2), dan akhirnya Nafsu muthma’innah, yaitu nafsu yang tenang dan damai (QS 89 : 27)
Jalaludin Rumi, seorang Sufi terkemuka dari Balkhi, kota yang terletak di sebelah utara Afghanistan, bersenandung : ”Ketika nafs melolong seperti seekor srigala, maka aku akan menaruhnya di dalam karung seperti anjing”.
Dalam syair itu Jalaludin Rumi hendak mengatakan, bahwa nafsu harus ditundukkan bahkan dididik sebagaimana seekor anjing. Karena ketika nafsu tampak seperti seekor anjing, maka ia dapat dilatih. Ia bukan hanya bisa ditundukkan, tetapi juga dapat menjadi pelindung. Seekor kalb mu’allam (anjing yang terlatih) dapat melindungi pemiliknya dan menjauhkannya dari musuh-musuhnya.
Tetapi mendidik nafsu itu akan dapat tercapai apabila disertai dengan rasa cinta. Rasa cinta itu diperlukan untuk dapat mengubah “iblis manusia” menjadi “seorang malaikat”. Dan rasa cinta itu berada di dalam hati. Ya hanya di hati !.
Hati adalah rumah dan kebun. Hati adalah masjid, bahkan masjid al-Aqsha. Hati adalah ka’bah, rumah Allah, dan hati juga singgasana Allah, dimana Dia menunjukkan diri-Nya sendiri. Hati manusia laksana cermin yang harus digosok, dipoles dan dibersihkan, yaitu ia harus mengalami periode riyadloh (latihan) yang panjang agar bisa menjadi bening kemilau, karena pada akhirnya pantulan yang berseri-seri dari Sang Kekasih (Tuhan) akan muncul dalam cermin itu, sehingga akhirnya Sang Pencinta dan Sang Kekasih akan menjadi cermin bagi satu dengan yang lainnya.
Ada satu dongeng (ceritera) dari Bizantium, pada suatu ketika diadakan sayembara melukis pada dinding batu pualam di istana Bizantium antara pelukis dari Tiongkok dan pelukis dari Bizantium. Pada waktu itu Tiongkok merupakan negri yang terkenal karena lukisannya, karena bobot kualitas pelukisnya dianggap paling hebat. Demikianlah kedua pelukis itu saling membelakangi dan masing-masing ditutup dengan tirai. Ketika kedua pelukis itu sudah selesai dengan karyanya, maka tirai dibuka. Pelukis Tiongkok itu membuat lukisan yang sangat indah, semua orang terpesona oleh keindahan lukisan itu, sedangkan pelukis Bizantium sama sekali tidak membuat lukisan, tetapi ia menggosok dinding pualam itu dengan sangat sempurna, sehingga lukisan pelukis dari Tiongkok itu terpantul di dalamnya dan terlihat lebih indah dari aslinya. Tugas untuk menggosok hati (qalbu), sehingga menjadi bening seperti cermin, sebagaimana yang dilakukan oleh pelukis dari Bizantium tadi, adalah tugas Sang Pencinta, sehingga Sang Kekasih, Illahi, dapat bersinar dalam kemuliaan yang penuh di dalam hati. Namun hati juga harus dikosongkan dari selain Dia.
Para Sufi menggunakan kiasan pedang atau sapu dari “Laa”, kata pertama pengakuan iman Laa ilaaha illallah, tidak ada Tuhan lain, kecuali hanya Allah semata. Seperti sebuah pedang ia memotong segala sesuatu yang bukan Allah, atau rumah harus dibersihkan dengan sapu untuk membuang segala kotoran atau sampah (maksudnya disini karat-karat yang ada di dalam hati), sehingga hanya Sang Kekasih saja yang dapat tinggal di dalamnya. Maka disini Sang Pencinta dan Sang Kekasih bisa menyatu, dirinya lebur dalam fana fi llah. Disini ia berada dalam situasi penyatuan (Ittihad), penyatuan berarti pemisahan dari segala sesuatu selain Allah, dalam hati tidak melihat atau memuja apa-apa selain Allah. Ketika seseorang mengucapkan “Laa ilaaha illallah”, hal itu berarti dia menghilangkan semua keberadaan, termasuk menghilangkan keberadaan dirinya. Ucapan itu hanya untuk Dia (Allah) semata, yang ada hanyalah Allah, disana terukir ucapan “Ana al-Haqq”. Ucapan “Ana al-Haqq” itu ucapan Allah, bukan ucapan makhluk. Jika seseorang mengucapkan “laa ilaaha illallah”, sedang dalam hatinya terisi selain Allah, yaitu terisi dunia dan akhirat, maka ucapan itu termasuk kedustaan.
Seseorang yang telah lebur dalan fana fi llah, berarti ke-akuannya telah musnah dan yang ada hanyalah Allah. Ma’rifatnya telah mengosongkan dunia dan akhirat dari hatinya, dan yang ada hanyalah Allah. Inilah Sufi yang sebenarnya. Hatinya telah bebas dari cengkeraman hal-hal yang bersifat jasmani. Secara konseptual seorang sufi adalah pribadi yang telah terbebas dari belenggu nafs-nya baik secara lahir maupun batin. Manusia yang menjadi perwujudan Sifai-Sifat Allah.
Al-Hallaj seorang tokoh Sufi yang paling mengundang kontroversi dalam sejarah tasawwuf, karena ajarannya yang berkenaan bersatunya manusia dengan Allah, ketika ditanya tentang ucapan beliau “Ana al-Haqq”, beliau mengatakan ketika berujar “Ana al-Haqq”, beliau sedang dalam lingkungan ma’rifat yang merasakan kekosongan dunia akhirat, dan yang ada hanya ke-esaan Allah. Bagi Al-Hallaj, kata ganti “Aku” (Ana) adalah ciptaan Allah. Karena itu kata “Aku” merupakan hak dan otoritas daripada Allah. Manusia menggunakan kata ganti “Aku” hanya bersifat sementara dan merupakan pinjaman dari Allah. Hanya Tuhan yang berhak mengatakan “Aku”, dan hati harus dikosongkan untuk menerima-Nya. Al-Hallaj mengatakan “Ana al-Haqq” ketika rahasia ke-Tuhanan telah tersingkap di hatinya, kemudian beliau mengetahui dan memahaminya. Ke-akuannya telah musnah dan yang ada di hatinya hanyalah Allah semata, sehingga beliau mengalami kebahagiaan di tengah siksaan penguasa.
Apa yang telah dikatakan oleh Al-Hallaj sebenarnya bukanlah satu-satunya persoalan kontroversial dalam dunia tasawwuf. Ibnu Thaifur bin Isa, atau yang lebih dikenal dengan nama Abu Yazid al-Busthami, adalah seorang tokoh sufi yang tidak kalah kontroversialnya. Beliau membangun teorinya di atas konsep Muraqabah (pengawasan Tuhan). Sebuah konsep yang dalam filsafat Hindu dikenal dengan tema “Samadhy” (istighraq, melebur dengan Tuhan). Abu Yazid al-Busthami pernah mengatakan ”Sesungguhnya aku adalah Allah”.
Tegasnya kalimat ungkapan Al-Hallaj, “Ana al-Haqq” merupakan pernyataan tentang kefanaan manusia dan merupakan pernyataan kepada eksistensi Allah. Ketika manusia sirna, mati, dan rusak, maka “keakuan” tersebut kembali ke asalnya, yaitu Allah.
Jalaludin Rumi ketika ditanya tentang ungkapan kata “Ana al-Haqq” menjawab bahwa kata Ana al-Haqq itu bukanlah pengakuan atas ke-agungan, melainkan suatu kerendahan hati yang total. Apabila seseorang mengatakan : ”Aku adalah hamba Tuhan”, itu berarti dia menyebutkan adanya dua keberadaan, yaitu dirinya dan Tuhan. Sedangkan ungkapan “Ana al-Haqq” berarti peniadaan diri, yakni dia menyerahkan keberadaan dirinya sebagai kekosongan. Apabila dikatakan : ”Aku adalah Tuhan”, berarti Aku (dirinya) tidak ada, segala sesuatu adalah hanya Dia. Keberadaan itu adalah Tuhan sendiri, sedangkan aku (dirinya) bukan keberadaan, sama sekali bukan apa-apa. La maujuda illallah.
Pernyataan ini sangat luar biasa, lebih dari pengakuan keagungan apapun. Tetapi sayangnya masih banyak orang yang belum memahami tentang hal itu. Ketika manusia menyadari penghambaannya kepada Tuhan, dia sudah sadar atas apa yang diperbuatnya sebagai hamba Allah. Namun dia masih memandang dirinya dan perbuatannya, menyembah kepada Allah. Ini berarti dia tidak “tenggelam” dalam fana. Tenggelam adalah ketika diri seseorang tidak memiliki gerakan atau perbuatan, kecuali digerakkan oleh perubahan air. Manusia yang telah tenggelam dalam fana, adalah dia yang telah larut ke dalam sifat-sifat, asma dan af’al Allah. Dirinya lebur, lenyap bersama Sang Kekasih, menjadi cermin dari zat yang paling indah. Ia telah mencapai puncak cintanya. Cinta sejati pada Sang Kekasih Abadi. Inilah tingkat fana fi llah, dimana seseorang yang telah sampai pada tahap ini akan mendapatkan kesadaran, rasa cinta dan rasa “bersatu” dengan Allah. Allah akan menghiasinya dengan akhlak yang mulia dan tingkah laku yang terbaik. Orang yang telah sampai pada tahap ini telah dapat melepaskan dirinya dari segala atribut keduniawian, Allah telah memberinya pakaian yang mengandung Sifat dan Akhlak Ketuhanan (Illahiyyah), segala bentuk ghairullah (segala sesuatu yang bukan Allah) telah dikesampingkan dari hatinya.
Syekh Abdul Qodir al-Jailani dalam Kitab Fathur Rabbani, mengatakan sebagai berikut
“Barang siapa mengetahui orang yang dicintai Allah, berarti telah mengetahui orang yang mengenal Allah melalui hatinya yang masuk ke dalam sirrinya. Tuhan kita Azza wa Jalla adalah dzat yang wujud yang bisa dilihat.”
Ini sebagaimana ditandaskan oleh Rasulullah saw :
“Kamu semua akan melihat Tuhanmu secara jelas seperti kamu melihat matahari dan bulan yang tidak menyakitkan penglihatanmu”
“Hari ini kamu bisa melihat-Nya melalui matahati, dan besok dengan mata kepala; Tiada penyerupa bagi-Nya sesuatu-pun dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat”.
Orang yang melihat dengan hatinya melaui sirrinya, artinya orang yang telah suci hatinya. Orang yang telah suci hatinya : kemana pun wajah menghadap, terlihatlah wajah Allah”. Tetapi Allah tidak serupa dengan yang baru, tidak berwarna tidak berupa; tidak hijau seperti daun, tidak merah, putih, kuning seperti bunga. Orang seperti itu dengan pandangannya telah merasakan kehadiran Tuhannya, dimana pun ia berada, kemana pun ia menghadap. Bahkan ia sudah dapat merasakan hilangnya semua makhluk, yang ada hanya wujud Dia (Allah) yang tunggal. Disana lah terukir kata “Ana al-Haqq”
Sebagaimana sabda Rasulullah saw:
“Ana ahmadun bilaa mim”, maksudnya ahad (Allah)
dan sabdanya lagi :
“Ana ‘arabun bilaa ‘ain”, maksudnya Rabb (Allah)
Juga sufi-sufi yang lain, seperti Syekh Abdul Qodir Jailani, Syekh Bahaudin Naqsyabandi, Mansur al-Hallaj, Ibnu ‘Arabi, Abu Yazid al-Busthomi, Hamzah Fanshuri, Abdul Hamid Habulung, Syekh Siti Jenar dan lain-lain. Mereka semua adalah orang-orang yang sudah mencapai tingkat Tauhid yang sangat tinggi (Wihdatul wujud).
Orang beriman itu jauh dari dunia. Orang zuhud jauh dari akhirat, Orang ‘arif jauh dari selain Allah. Orang beriman menolak dunia setelah pintu akhirat terbuka, maka bermukimlah bersama akhirat. Ketika itu kelembutan dan cahaya Allah mendatanginya, lalu akhirat pun ditolaknya. Bagaimana tidak menolak akhirat, karena nyatalah ma’rifat kepada Allah lebih sempurna. Ia terbebas dari selain Allah. Jauh dari dunia, jauh dari akhirat, kosong dari segala sesuatu, hanyalah Allah yang ada, sehingga dunia terbalik menjadi pelayannya. Orang bertauhid dalam keteguhan tauhidnya. Tidak mengenal kata ayah atau ibu, keluarga atau teman, musuh atau harta, pangkat atau kediaman, semua tidak ada dalam hati, hanyalah Allah yang ada dengan keridloan-Nya.



Bandung, Mei 2008

KATA PENGANTAR

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puja dan puji penyusun sampaikan ke hadirat Allah swt, sebab dengan karunia-Nya penyusun dapat menyelesaikan tulisan ini dan diberi judul MENGGAPAI MA’RIFAT
Adapun isi daripada susunan di bawah ini adalah berdasarkan atas ajaran guru penyusun, Syekh Shohibulwafa Tajul’arifin, mursyid thariqat Qodiriyyah Naqsyabandiyyah dari Pondok Pesantren Suryalaya, hasil bacaan dari buku Fathur Rabbany, buku-buku karya Bapak Agus Sunyoto dan Moh. Solihin mengenai Suluk, Buku Thariqah Menuju Kebahagiaan karya Sayyid Abdullah Hadad, serta pengalaman ruhani penyusun selama ini, juga merupakan hasil diskusi dan pengamatan penyusun dari ikhwan-ikhwan penganut berbagai aliran thariqat, antara lain thariqat Qodiriyyah Pagelaran Subang, thariqat Akmaliyah dll.
Penyusun sadar bahwa masih banyak kekurangan dan kesalahan dari isi tulisan ini, hal ini disebabkan oleh kurangnya pengetahuan penyusun dalam bidang ilmu tasawuf, tetapi apa pun tanggapan dari para pembaca, semua yang tertuang dalam tulisan ini hanyalah berupa pendapat pribadi dari penyusun, yang belum tentu sefaham dengan pendapat para pembaca.
Semoga tulisan ini dapat menambah pengetahuan penyusun khususnya dan siapa pun yang membaca tulisan ini



Bandung, akhir tahun 2007


Penyusun

Daftar Isi

Daftar ISI


1. Fanafillah (Sedikit Tentang Kata : Ana al-Haqq)

2. Al-Qur’an : Paradigma Kehidupan dan Ilmu Pengetahuan Teknologi Modern

3. Dzikir Thariqat Qodiriyyah Naqsyabandiyyah

4. Dzikir Jahar, Dzikir Sirri dan Muraqabah

5. Agar Sampai Kepada Allah Dengan Ridlo-Nya Ketika Berdzikir

6. Ahli Suluk

7. Hadits

8. Bahan Renungan

9. Syekh Ahmad Khatib Ibnu Abdul Ghafari as-Sambasi al-Jawi

10. Cerita Sekitar Suryalaya

11. Pangersa Abah Anom Menaklukan Kiyai Jagoan

12. Bagaimana Caranya Agar Hati Selalu Berdzikir Kepada Allah

13. P u i s i

14. Usulan Nama Thriqat Qodiriyyah Naqsyabandiyyah Arifiniyyah


Bandung, 24 September 2008


Penyusun


Masna Mulyana

D. Setiawan

Minggu, 07 September 2008

SILSILAH PARA BUPATI SUKAPURA DARI DINASTI WIRADADAHA DAN KETURUNANNYA


1. Raden Ngabehi Wirawangsa, bergelar Raden Tumenggung Wiradadaha I, dipanggil Dalem Pasir Beganjing, berkedudukan di Leuwiloa, Sukaraja (!641 – 1674)


2. Raden Djajamanggala, bergelar Raden Tumenggung Wiradadaha II, dipanggil Dalem Tamela, berkedudukan di Leuwiloa, Sukaraja (1674)


3. Raden Anggadipa I, bergelar Raden Tumenggung Wiradadaha III, dipanggil dalem Sawidak, berkedudukan di Leuwiloa, Sukaraja (1674 – 1723)


4. Raden Subamanggala, bergelar Raden Tumenggung Wiradadaha IV, dipanggil Dalem Pamjahan, berkedudukan di Leuwiloa, Sukaraja (1723 – 1745)


5. Raden Secapati, bergelar Raden Tumenggung Wiradadaha V, dipanggil Dalem Srilangka, berkedudukan di Leuwiloa, Sukaraja, (1745 – 1747)


6. Raden Jaya Anggadireja, bergelar Raden Tumenggung Wiradadaha VI, dipanggil Dalem Siwarak (1747 – 1765), berkedudukan di Leuwiloa, Sukaraja.


7. Raden Djajamanggala II, bergelar Raden Tumenggung Wiradadaha VII, dipanggil Dalem Pasirtando (1765 – 1807), berkedudukan di Empang, Sukaraja.


8. Raden Anggadipa II, bergelar Raden Tumenggung Wiradadaha VIII, dipanggil Dalem Sepuh (1807 – 1837), berkedudukan di Manonjaya.


9. Raden Tumenggung Danudiningrat (1837 – 1844), berkedudukan di Manonjaya


10. Raden Tumenggung Wiratanubaya, dipanggil Dalem Sumeren (1844 – 1855), berkedudukan di Manonjaya.


11. Raden Tumenggung Wiraadegdana, dipanggil Dalem Bogor (1855 – 1875), berkedudukan di Manonjaya.


12. Raden Tumenggung Wirahadiningrat, dipanggil Dalem Bintang (1875 – 1901), berkedudukan di Manonjaya.


13. Raden Tumenggung Prawirahadiningrat (1901 – 1908) berkedudukan di Tasikmalaya.


14. Raden Tumenggung Wiratanuningrat (1908 – 1937), berkedudukan di Tasikmalaya. Di masa pemerintahan ini, tepatnya 1 Januari 1913 Kabupaten Sukapura diganti nama menjadi Kabupaten Tasikmalaya.













TERAH SUKAPURA SAMPAI KEPADA
ENJEK ABDURRAZAK (SUMINTAWINATA)
BESERTA ANAK CUCU DAN BUYUTNYA



1. Sayyidina Ali bin Abi Tholib
(menikah dengan putri Nabi Muhammad saw., yaitu Sayyidah Fatimah Az-Zahra)

2. Sayyidus Syuhada Imam Husayn (cucu Nabi Muhammad saw.)

3. Imam Faqih Muqaddam ( abad 12 – 13 M )
(Keturunan cucu Nabi Muhammad saw., yaitu dari Imam Husayn)

4. Syekh Yusuf Al- Mukhrawi (wafat di Parsi)

5. Syekh Abdullah Wahab ( wafat di Makkah )

6. Syekh Muhammad Akbar Al Ansari
( wafat di Madinah )

7. Syekh Abdul Muhyi Al Khoyri
( wafat di Palestina )

8. Syekh Muhammad Al Alsiy
( wafat di Parsi )

9. Syekh Abdul Kholiq Al Idrus
( datang ke Jepara, Jawa, awal tahun1400 M,
menikah dengan putri mubaligh Gujarat,
yaitu Syekh Muhammad Akbar )

10. Raden Muhammad Yunus
( Wong Agung Jepara )

11. Raden Abdul Qodir ( Dipati Unus)
( menjadi Sultan ke II Demak )

12. Raden Abdullah
( menikah dengan putri ke III Maulana Hasanuddin – Banten, bernama Fatimah )

13. Raden Aryawangsa, menikah dengan putri istana Pakuan,
bergelar Sultan Muhammad Wangsa

14. Raden Suryadiningrat (th 1580 M), nama aslinya Adipati Suryawangsa, menikah dengan salah seorang putri Panembahan Senopati (Mataram), berputra Raden Ngabehi Wirawangsa.

15. Raden Ngabehi Wirawangsa, bergelar Raden Tumenggung Wiradadaha I,
disebut Dalem Pasir Beganjing, berkedudukan di Leuwiloa (1641 – 1674). Menjadi kepala daerah Sukapura beribukota di Sukakerta. Resmi diangkat bupati menjadi bupati Sukapura bergelar Wiradadaha I, yang menjadi cikal bakal dinasti Wiradadaha di Sukapura (Tasikmalaya)
Raden Tumenggung Wiradadaha diberi gelar oleh Sultan Agung (Mataram), yaitu Raden Ngabehi Wirawangsa, bupati Sukapura pertama, karena berjasa menumpas pemberontakan Dipati Ukur th. 1632 M.

16. Raden Jayamanggala (gelar Tumenggung Wiradadaha II mendapat sebutan Dalem Tamela). Berkedudukan di Leuwiloa – Sukaraja (1674).
Karena ada masalah dengan adiknya, yang menginginkan kekuasaan, maka Wiradadaha II difitnah dan dilaporkan ke Sultan Agung – Mataram, Wiradadaha II dihukum mati, jenazahnya dari Jawa dikirim ke Pasundan dimasukkan ke dalam peti (tamela), maka beliau disebut Dalem Tamela.
Keturunan Dalem Tamela takut oleh pamannya, Anggadipa, yang bergelar Dalem Sawidak ( disebut Dalem Sawidak karena beliau berputra 63 orang, dari beberapa istri. sawidak = 60), Dalem Sawidak berniat untuk menumpas mereka, karena beliau khawatir kalau-kalau mereka merebut kekuasaannya. Mereka lari bersembunyi ke daerah Karawang, tapi sekarang keturunan Dalem Tamela tidak mempermasalahkan lagi, mungkin itu atas jalannya sejarah, persaudaraan harus tetap dijaga, berjalan dengan baik.
Adapun putra beserta cucu Dalem Tamela (Tumenggung Wiradadaha II) yang bersembunyi di Karawang adalah :

Putranya : 1. Raden Indramanggala
2.Raden Ngabehi Indrajaya
3.Raden Singanata (Embah Guru Cibiuk)

.Cucunya : 1 Raden Indraputra (Embah Jayudin)
2.Raden Kidang Manggala
3.Raden Wiraningrat (Ki Sayan)
Mereka menyamar mengganti nama kebangsawanannya dengan nama-nama orang kebanyakan, karena takut dikejar pamannya
Dari Raden Wiraningrat (Ki Sayan) dengan istrinya Ratna Inten (Jainten) berputra :
1.Raden Somanata (Sayan)
2.Raden Gentur Pawestri (Gentur)
3.Raden Karna Sembada (Karsem)

Keturunannya dari Raden Somanata (Sayan),

Putra – putri Masna Mulyana adalah :

I. Galih Biantara Wiraningrat menikah dengan Gina Ragardenia; berputra :
1. Gagah Merudanda Wiraningrat
2. Galuh Lintang Kencana Wiraningrat

II. Lirih Laraswulan Wiraningrat menikah dengan Moch. Taufik Megantara, berputra :
1. Puti Ayu Rengganis Wiraningrat
2. Intan Ayu Pawestri Wiraningrat
3. Gema Mahendra Wiraningrat
4. Gandang Samudra Wiraningrat

III.Gilang Handaka Wiraningrat, menikah dengan Kiki Rejeki Mariam Risnawati berputra :
1. Rangga Pradipta Wiraningrat
2. Difa Dwipangga Wiraningrat

IV. Giri Pamungkas Wiraningrat menikah dengan Dian Ventri Ambarwati; berputra :
1. Safira Ayundara Wiraningrat
2. Bagas Maheswara Wiraningrat

Pusaka Sukapura yang dibawa oleh keturunan Dalem Tamela, berupa 3 buah golok yang berbentuk sama. Yang besar lebarnya disebut 3 jari (tilu ramo),
Yang sedang lebarnya disebut 2 jari (dua ramo), Yang kecil lebarnya 1 jari (hiji ramo).
Yang disebut 1 jari, lebarnya sesungguhnya lebih dari 2 jari.
Yang 3 jari ada di Rd. Suhud (alm) mantan Pj. Bupati Karawang.
Yang 2 jari ada pada Drs. Arifin.
Yang 1 jari ada pada KH. Yoyo Sunaryo Setiamulyana.
Yang lainnya, seperti : Payung Bawat, Sempono Kinjeng, masih berada di Musium Sukapura.

17. Raden Anggadipa I, bergelar Raden Tumenggung Wiradadaha III, disebut Dalem Sawidak, berkedudukan di Leuwiloa, Sukaraja (1674 – 1723 )

18. Raden Subamanggala, bergelar Rd. Tumenggng Wiradadaha IV, dipanggil Dalem Pamijahan, berkedudukan di Leuwiloa, Sukaraja (1723 – 1745 )

19. Raden Secapati (Raden Tumenggung Wiradadaha V), disebut Dalem Srilangka, berkedudukan di Leuwiloa, Sukaraja (174 – 1747 )

20. Raden Jaya Anggadireja (Raden Tumenggung Wiradadaha VI), disebut Dalem Siwarak (1747 – 1765 ), berkedudukan di Leuwiloa - Sukaraja

21. Raden Jayamanggala II (Rd. Tumenggung Wiradadaha VII), disebut Dalem Pasirtando (1765 – 1807 ), berkedudukan di Empang, Sukaraja

22. Raden Anggadipa II (Rd. Tumenggung Wiradadaha VIII), disebut Dalem Sepuh (1807 – 1837 ), berkedudukan di Manonjaya

23. Raden Tumenggung Danudiningrat (1837 – 1844 ), berkedudukan di Manonjaya

24. Raden Tumenggung Wiratanubaya, disebut Dalem Sumeren ( 1844 – 1855 ), berkedudukan di Manonjaya

25. Raden Tumenggung Wiraadegdana, disebut Dalem Bogor ( 1855 – 1875 ), berkedudukan di Manonjaya

26. Raden Tumenggung Wirahadiningrat, disebut Dalem Bintang ( 1875 – 1901 ), berkedudukan di Tasikmalaya.

27. Raden Tumenggung Prawirahadiningrat (1901 – 1908 ), berkedudukan di Tasikmalaya

28. Raden Tumenggung Wiratanuningrat (1908 – 1937 ), berkedudukan di Tasikmalaya. (Pada masa pemerintahan ini, tanggal 1 Januari 1913, kabupaten Sukapura diganti nama menjadi kabupaten Tasikmalaya).

- Gelar resmi Bupati Dinasti Wiradadaha dan keturunannya menggunakan kata “NINGRAT”

- Gelar resmi Bupati Sumedang menggunakan kata
“DINATA” atau “DILAGA”

- Gelar resmi Bupati Banten menggunakan nama “WANGSA”

- Keturunan Mataram mengunakan gelar “NGABEHI”

- Gelar Wiradadaha untuk Dalem Sukapura mencapai yang ke VIII
- Eyang Wiraha bukan ayah Rd. Ngabehi Wirawangsa, tetapi mertuanya, atau mungkin ayah angkatnya.

Keterangan :

- Hal ini terjadi suatu percampuran darah (pernikahan), yaitu dari ulama-ulama tasawuf yang berasal dari Arab, Persia, Gujarat, Prabu Brawijaya Pamungkas (Raja Majapahit terakhir), Demak, Sukapura, Sumedang, Cirebon dan Banten.

- Muhammad Yunus menikah dengan putri pembesar Majapahit, mendapat gelar Wong Agung Jepara, mempunyai putra Abdul Qodir bin Yunus (Dipati Unus)

- Khaliqul Idrus menikah dengan putri seorang mubaligh Gujarat yang lebih dahulu datang ke tanah Jawa (keturunan Maulana Akbar). Putra Maulana Akbar yaitu Syekh Ibrahim Akbar menjadi pelopor da’wah di Tanah Campa (delta Sungai Mekhong, Kamboja, sampai sekarang masih ada perkampungan Muslim).
Putra Syekh Ibrahim Akbar dikirim ke tanah Jawa, yaitu Raden Rahmat (Sunan Ampel) beserta adik perempuannya lain ibu (asal Campa), menikah dengan Raja Brawijaya Pamungkas (Raja terakhir Majapahit). Mempunyai putra bernama Raden Patah, yang kemudian menjadi Sultan Demak pertama, bergelar Alam Akbar Al-Fatah. Prabu Brawijaya masuk Islam, tapi secara sembunyi-sembunyi

- Raden Abdullah (putra Pati Unus) menikah dengan putri ke III Maulana Hasanuddin (Banten)

- Untuk mengusir Portugis di Malaka th 1511, Demak mempererat hubungan dengan kesultanan Banten – Cirebon, yang masih keturunan Syekh Maulana Akbar dari Gujarat. Karena Sunan Gunung Jati atau Syekh Syarif Hidayatullah adalah keturunan Syekh Maulana Akbar, sedang Raden Patah, ibundanya cucu Syekh Maulana Akbar yang lahir di Campa.
Pati Unus neneknya dari pihak ayah juga keturunan Syekh Maulana Akbar. Pati Unus menikah dengan putri Sunan Gunung Jati, yaitu Ratu Ayu Putri. Setelah Raden Patah mangkat tahun 1518, diganti oleh Pati Unus (menjadi Sultan Demak ke II).
Pati Unus gugur pada ekspedisi jihad ke II th. 1521 ketika mengusir Portugis di Malaka. Panglima perang diganti oleh Fadhullah Khan, disebut Faletehan (Fatahillah). Janda Dipati Unus (putri Sunan Gunung Jati) menikah dengan Faletehan.
Dipati Unus, Sultan Demak II diteruskan oleh adik iparnya Pangeran Tranggono (Sultan Demak III)

- Sumedang Larang, yang pusat pemerintahannya di Kutamaya, dipimpin oleh Prabu Geusan Ulun (1580 – 1608); sepeninggal Geusan Ulun kekuasaan Sumedang Larang diwariskan kepada anak tirinya, yaitu Raden Aria Suriadiwangsa (1608 – 1624). Karena terjepit oleh ketiga kekuasaan (di sebelah timur Mataram, di sebelah barat Banten dan Kompeni), Aria Suriadiwangsa memilih menyerahkan diri ke Mataram, karena ibunya, Ratu Harisbaya, adalah saudara Raden Sutawijaya. Akhirnya Sumedang menjadi kabupaten dibawah Mataram, Aria Suriadiwangsa bergelar Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata (Rangga Gempol I, th 1620 – 1624).

- Akibat pemberontakan Dipati Ukur, daerah Priangan dibagi menjadi 4 Kabupaten :

1. Sumedang, Rangga Gempol II
2.Sukapura, Wirawangsa, Umbul Sukakerta, bergelar Tumenggung Wiradadaha
3.Bandung, Astamanggala, Umbul Cihaurbeuti, bergelar Tumenggung Wiraangun-angun.
4.Parakan Muncang, Somahita, Umbul Sindangkasih, bergelar Tumenggung Wira Tanubaya


Bandung, 10 Januari 2008

Disalin oleh : Masna Mulyana

Tgl. 1 Muharam 1429 H
Tahun Jawa 1941 tahun Jim awal

Sumber : Dari Internet dan dari Orang tua.